POVINDONESIA.COM – Kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Bogor 2024 berlangsung hening dan cepat, dan tak bisa ditebak.

Komunikasi politik antar parpol, politisi hingga pimpinan partai tidak tercium baunya ke permukaan. Hanya kata-kata normatif, tanpa kepastian arah kemajuan Kabupaten Bogor ke masa depan.

Partai politik dibabat habis, hanya disisakan PDI Perjuangan untuk “Distel” agar kongkalingkong politik yang masif dan terstruktur tidak terkesan buruk oleh masyarakat dan menghilangkan upaya kotak kosong.

Ya, bagaimana masyarakat bisa menilai baik buruk para politisi, jika mereka sudah memperburuk diri mereka sendiri dengan kalimat “Politik Itu Dinamis”.

Belasan partai politik nyatanya belum benar-benar nampu mendidik kader-kadernya untuk tidak hanya terlena oleh kompromi-kompromi tingkat elit, tapi juga memikirkan bagaimana nasib masyarakat yang mereka peras suaranya pada pileg lalu maupun Pilkada mendatang.

Para pimpinan partai dan politisi mestinya melakukan perbaharuan-perbaharuan yang strategis agar tidak hanya bermanfaat bagi kelompok-kelompok, tapi bermanfaat juga bagi masyarakat yang buta politik.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa gemuknya koalisi akan semakin gemuk juga ‘pembagian jatah’ antar elit politik untuk memuluskan niat ‘Baik’ di Pilkada Kabupaten Bogor mendatang.

Pengamat Politik Universitas Djuanda, Gotfridus Goris Seran menyampaikan kondisi seperti ini akan memberatkan masyarakat untuk mengontrol kerja-kerja pemerintah baik eksekutif maupun legislatif. Bagaimana tidak, semua partai kecuali ‘mungkin’ PDIP, sudah sepakat untuk mengusung koalisi gemuk.

Kongkalingkong politik itu kemudian akan membuat peran legislatif sebagai kontrol eksekutif semakin lemah, terlebih legislatif dan eksekutifnya dikuasai partai pemenang di Pileg dan Pilkada nanti.

“Jika koalisi gemuk memenangkan pilkada, tentu akan berdampak pada hubungan eksekutif dan legislatif daerah yang cenderung executive-heavy. Partai-partai di luar koalisi tersebut cenderung moderat sehingga fungsi legislatif daerah juga demikian,” kata Seran.

“Dampaknya, kita akan kurang mendapatkan pengawasan yang cukup terkait penyelengaraan pemerintahan daerah, pelaksanaan program pembangunan, dan pelayanan public,” jelas Seran.

Masyarakat harus melihat bahwa kondisi Pilkada Kabupaten Bogor saat ini menandakan gagalnya kaderisasi partai politik. Bagaimana tidak, partai politik lebih memilih sosok luar partai lainnya untuk diusung sebagai pemimpin, bukan kadernya yang mungkin sudah menahun punya KTA.

*Kesadaran Masyarakat*

Penyair Jerman  yang hidup di Abad 19, Bertolt Brecht menyindir terhadap warga negara yang tidak ingin tau bahkan apatis terhadap dinamika dan kepentingan politik. Kira-kira seperti ini dia bilang:

“Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik,” paparnya.

“Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri,” tambah dia.

Ia sudah sedari dulu mengingatkan, warga agar tidak apatis terhadap politik. Sebab, kebijakan politik mampu merubah kehidupan masyarakat, memiskinkan masyarakat bahwa membuat sesama masyarakat berkonflik.

Masyarakat yang buta terhadap politik akan selalu berpikiran bahwa nasib lah yang membuatnya miskin, padahal bijaknya kita dalam memilih pemimpin menjadi salah satu faktor ‘nasib’ kalian menjadi miskin, susah mencari kerja, hingga selalu menyalahkan pemerintah. Padahal, penyebabnya, politisi yang ada di pemerintahan lah yang kita pilih dulu.

“Kita tidak bisa menyalahkan kepada para elit politik semata, mereka pasti sudah menghitung untung rugi saat terjun ke dunia politik. Mereka melihat ‘pangsa pasar’ untuk menentukan turun atau tidaknya dalam ‘bermain politik,” jelas Seran.

Di sistem demokrasi, masyarakat memiliki hak suara untuk menetukan calon pemimpin, sementara calon pemimpin memiliki daya ukur untuk mengaet hati para pemilih.

Jika pemilih membutuhkan visi-misi yang visioner, tentu politisi itu akan membuat visi-misi yang visioner pula. Jika rakyat hanya memerlukan rupiah, tentu mereka tak perlu pintar untuk menjadi seorang pemimpin, tapi hanya perlu rupiah yang disesuaikan dengan kebutuhan para pemilih.

Seperti sistem jual beli, penjual akan melihat kebutuhan pasar, jika suatu daerah membutuhkan emas, maka mereka akan menyediakan emas terbaik.

Namun, jika masyarakat hanya butuh nasi untuk sehari, maka mereka akan mencukupi kebutuhan masyarakat sesuai porsi. Asal, kebutuhan masyarakat tercapai dan keinginan para politisi terkabulkan.

“Kondisi itu jarang sekali kita lihat sebagai akar permasalahan di negara Indonesia yang demokratis ini. Kita selalu berprasangka buruk kepada sosok yang sudah terlanjur kita pilih. Padahal, kita lah yang menciptakan dan memilih mereka, termasuk para koruptor itu,” imbuh dia.

*Doktrinisasi Rakyat*

Mendoktrin terhadap sebuah kebaikan adalah hal yang bijaksana bagi orang-orang berpikir. Kita pasti sering mendengar istilah “Bangsa Ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur” yang merupakan ucapan Kasino.

Ucapan Kasino menggambarkan bagaimana kondisi Indonesia saat dulu hingga saat ini yang diisi oleh orang-orang terdidik di pemerintahan, namun tidak pintar dalam mendidik rakyatnya sendiri.

Kita harus mulai menghapus ‘kata-kata mutiara’ itu dengan cara yang kita mampu. Kita harus menanamkan pada hati kita bahwa mendidik masyarakat memahami pentingnya politik adalah suatu kewajiban. Kita tidak harus pintar untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat soal politik, yang paling penting kita harus menjadi manusia yang memberikan pandangan-pandangan manusiawi soal rusaknya suatu daerah jika elit politik ‘rakus’ saja yang berkuasa.

Doktrin dan pemahaman politik itu harus benar-benar tertanam dalam diri kita yang sadar dan peduli terhadap kemajuan bangsa. Kita tidak bisa menaruh harapan ke penyelenggara pemilu yang hanya sebatas seremonial dalam mendidik masyarakat untuk paham politik. Kita harus terus memberikan pemahaman-pemahaman mana calon pemimpin yang akan mensejahtrakan masyarakat dan mana pemimpin yang hanya akan menjajah masyarakat.

Mari kita mulai dari kita, sahabat, kelompok, hingga masyarakat luas untuk sadar pentingnya politik, untuk sadar bahayanya kongkalingkong para elit, dan untuk sadar bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.