POVINDONESIA.COM – Dalam beberapa tahun terakhir, publik disuguhkan berbagai peristiwa besar yang melibatkan aparat penegak hukum dan institusi pertahanan. Dari kasus yang menyita perhatian nasional hingga yang hanya terangkat sebagian di media, pola yang muncul sering kali serupa: penanganan yang lambat, informasi yang tertutup, dan komunikasi yang minim empati.
Sebagai anggota Polri dan sekaligus mahasiswa pascasarjana di bidang ilmu kepolisian, saya mencoba melihat fenomena ini dengan lebih jernih dan kritis. Ada satu benang merah yang perlu kita soroti secara mendalam: budaya diam, atau yang dalam literatur
disebut sebagai Code of Silence.
Apa Itu Code of Silence?
Carl B. Klockars, dalam teorinya yang banyak dijadikan rujukan akademik, menyebut Code of Silence sebagai norma tidak tertulis di mana anggota institusi penegak hukum ataupun pertahanan memilih untuk tidak melaporkan pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh sesama anggota. Alasan utamanya sering kali dibungkus dalam nilainilai seperti solidaritas, loyalitas, atau menjaga nama baik institusi.
Namun, ketika nilai-nilai tersebut digunakan untuk membungkam kebenaran dan menutupi pelanggaran, maka yang lahir bukan lagi kehormatan, melainkan impunitas yang
dilegalkan secara budaya. Sosiolog Maurice Punch menyebutnya sebagai bentuk “institutionalized deviance”—penyimpangan yang dilanggengkan oleh struktur organisasi.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat gejala ini muncul dalam beberapa peristiwa besar yang melibatkan aparat. Dalam satu kasus, terdapat dugaan rekayasa informasi di
level tinggi. Dalam kasus lain, keterlambatan dalam penyelidikan hingga ketidaktegasan dalam menetapkan status hukum pelaku menjadi sorotan publik. Meski masing-masing memiliki konteks berbeda, namun kesamaan pola penanganannya memperlihatkan bahwa Code of Silence bukan mitos—ia nyata, dan sistemik.
Mengapa Code of Silence Berbahaya?
Budaya diam bukan sekadar persoalan etika internal. Ia punya implikasi serius terhadap integritas organisasi dan kepercayaan publik. Klockars (2004) menekankan bahwa semakin kuat budaya diam di sebuah institusi, semakin rendah pula tingkat integritasnya.
Dan jika integritas melemah, kepercayaan publik ikut terkikis.
Menurut survei Edelman Trust Barometer 2023, lembaga penegak hukum di berbagai negara mengalami penurunan kepercayaan ketika dinilai tidak transparan dalam menangani kasus internal. Dalam konteks Indonesia, kita tidak bisa menutup mata bahwa sorotan publik terhadap institusi keamanan semakin tajam—bukan karena kebencian, tetapi karena harapan yang tinggi.
Antara Solidaritas dan Distorsi Nilai
Saya paham sepenuhnya bagaimana kuatnya nilai Esprit de Corps dalam institusi seperti Polri dan TNI. Nilai ini membentuk kebanggaan kolektif, solidaritas, dan rasa satu nasib yang sangat diperlukan dalam tugas-tugas berat di lapangan. Namun, di titik tertentu, Esprit de Corps bisa berubah arah menjadi Code of Silence, ketika kesetiaan terhadap sesama lebih diutamakan daripada kesetiaan terhadap hukum dan kebenaran.
Inilah dilema klasik yang sering muncul: memilih membela rekan, atau membela integritas institusi. Tapi sesungguhnya, membela kebenaran adalah bentuk loyalitas tertinggi terhadap institusi itu sendiri.
Krisis Komunikasi, Krisis Kepercayaan
Dalam situasi-situasi krusial, kita juga menyaksikan bagaimana kegagalan komunikasi publik memperparah krisis. Ketika peristiwa serius hanya dijawab dengan keheningan atau candaan yang tidak pantas, pesan yang sampai ke publik bukanlah ketegasan negara, melainkan pengabaian.
Dalam ilmu komunikasi krisis, hal pertama yang harus dikedepankan adalah empati—menunjukkan keprihatinan, menjelaskan langkah konkret, dan memberikan harapan
kepada publik. Tanpa itu, persepsi publik akan terbentuk liar, dan kesenjangan antara negara dan warganya makin melebar.
Solusi Transformasional: Bongkar Budaya Diam
Code of Silence tidak bisa diselesaikan dengan instruksi atau himbauan semata. Ia menuntut perubahan budaya organisasi yang menyeluruh. Berikut beberapa langkah transformasional yang perlu segera dilakukan:
1. Membangun sistem pelaporan internal yang kuat dan aman—dengan
perlindungan maksimal bagi pelapor, dan mekanisme independen untuk
memprosesnya.
2. Mengintegrasikan pelatihan etika dan integritas dalam setiap jenjang
pendidikan dan pembinaan personel.Etika bukan hanya teori, tapi harus menjadi
laku harian.
3. Menumbuhkan kepemimpinan yang memberi teladan keberanian moral, bukan sekadar ketegasan struktural.
4. Menguatkan kolaborasi dengan masyarakat sipil dan media untuk menciptakan iklim transparansi dan akuntabilitas yang sehat.
5. Membangun sistem evaluasi budaya organisasi, bukan hanya kinerja
operasional.
Penutup : Saatnya Berani Bicara
Budaya diam tidak akan hilang jika terus dibungkam. Ia hanya akan makin mengakar, makin normal, makin dianggap bagian dari “seni bertahan hidup” di institusi tertutup. Tapi
kita harus mulai bertanya: bertahan untuk siapa? Demi apa? Jika kita sungguh mencintai institusi ini, maka kita juga harus bersedia menyuarakan
kebenaran meski pahit.
Karena tidak ada kehormatan dalam menutupi pelanggaran. Kehormatan sejati justru lahir dari keberanian mengakui kesalahan, dan komitmen untuk memperbaikinya.
Pada akhirnya, kualitas demokrasi kita bukan hanya ditentukan oleh kekuatan hukum, tetapi oleh kejujuran orang-orang yang ada di dalam institusinya.
Dan membongkar budaya diam adalah langkah awal menuju kejujuran itu. (Sah)